Hari Pahlawan Bukan Sekedar
Refleksi
Barang siapa
sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum,
segenap waktu ia
harus siap sedia dan ikhlas buat menderita
“kehilangan
kemerdekaan diri sendiri”
(Dari
Penjara ke Penjara, Tan Malaka)
Hampir saban 10 November
kita selalu mengibarkan bendera satu tiang penuh. Upacara penghormatan pun
dilakukan untuk memperingati hari Pahlawan. Seremonial tahunan ini menjadi satu
refleksi bagi kita semua untuk mengenang jasa-jasa besar para pahlawan
Indonesia yang dengan ikhlas mengorbankan segenap jiwa dan raga yang dimiliki
sampai tetes darah penghabisan. Semua itu demi satu tujuan: Kemerdekaan!
Merdeka dari penghisapan, merdeka dari penjajahan, dan merdeka dari penindasan
kolonial. Soekarno pernah berkata bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang
tidak pernah lupa akan jasa para pahlawannya. Maka dari itu, jangan pernah
sekalipun melupakan sejarah.
Sebagaimana laiknya
sebuah refleksi, peringatan hari pahlawan ini tak cukup sekedar kita memasang
bendera satu tiang penuh dan mengikuti upacara kebesaran yang dipersiapkan,
dihadiri para pejabat, didengarkan pidatonya, lantas selesai begitu saja tanpa
ada satu nilai. Dan hal ini dari tahun ke tahun terasa semakin kurang dihayati
dan menjadi kosong makna karena peringatan ini cenderung bersifat seremonial
belaka.
Lebih dari itu, refleksi
ini menjadi satu permenungan kita bersama, sejauh mana kita sebagai angkatan
muda(baca: mahasiswa), kaum intelektual terpelajar mampu menjadi bagian dalam
proses pembangunan bangsa ini ke depan? Hal signifikan apa saja yang telah kita
perbuat di dalam arus persaingan yang go globalini? karena seperti
apa yang dikatakan oleh Soe Hok Gie bahwa kitalah generasi yang akan
memakmurkan Indonesia.
Memang secara legal
formal bangsa ini telah merdeka, tetapi bila kita lihat secara hakikat ternyata
belum sepenuhnya kita merdeka. Penjajahan yang kita alami sekarang tidak sama
dengan apa yang dialami oleh arek-arek Suroboyo ketika melawan
Inggris di Surabaya 63 tahun silam dengan menggunakan beberapa pucuk senjata dan
bambu runcing. Bentuk penjajahan yang kita alami saat ini tidak bermuka garang
melainkan berwajah lembut. Kita dijajah secara sistem!
Tengoklah berapa juta
massa rakyat Indonesia yang terbelenggu dalam kemiskinan, mereka yang tidak
mampu sekolah, pengangguran yang menumpuk, petani yang dirampas tanahnya, buruh
dengan gaji rendah, belum lagi kanker korupsi yang masih menjamur di tubuh
birokrasi negeri ini. Tan Malaka membuat sebuah illustrasi yang menyedihkan
tentang keadaan rakyat. Sebuah kenyataan yang ditulis puluhan tahun lampau
namun masih dekat dengan kenyataan yang sekarang kita alami: Beberapa
juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan ‘pagi makan, petang tidak’. Mereka tidak
bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas
tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan barang perdagangan, kini semuanya
dipusatkan dalam tangan beberapa sindikat...demikianlah rakyat Indonesia tambah
lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa(malahan kerapkali
diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal...
Hal inilah yang secara
kongkrit harus kita jawab bersama. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan
pahlawan-pahlawan baru untuk mewujudkan kehidupan massa rakyat yang demokratis
secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, dan partisipatif
secara budaya.
Pengalaman-pengalaman
besar harus dijemput bukan hanya melalui analisa tapi juga karya-karya penting
untuk menggugah kesadaran yang sudah lama terlelap. Di dunia pemikiran kita
bukan sekedar membutuhkan gagasan-gagasan baru melainkan juga ‘alat baca’ yang
berpihak atas massa rakyat yang tertindas. Intelektual adalah bagian dari arus
massa tertindas dan sebaiknya mengerti, memahami, dan menyelami kehidupan
mereka. Hal ini tak akan bisa dimengerti jika mengetahui kehidupan hanya
sebatas kegiatan-kegiatan pelatihan, workshop, rapat, seminar, diskusi atau
penelitian ‘pesanan’. Kegiatan itu hanya akan meningkatkan pendapatan bukan
pemahaman atas kenyataan sosial. Membuang keyakinan lama mungkin jadi syarat utama
menuju pada tugas serta mandat seorang intelektual terpelajar.
Pahlawan-Pahlawan Baru
Sebuah keniscayaan memang
apabila setiap jaman akan melahirkan anak jamannya masing-masing. Disinilah
peran generasi muda tak pernah putus dari sejarah bangsa ini. Jika kita menilik
ke belakang, dulu kaum terpelajar yang memperoleh kesempatan untuk menikmati
pendidikan mempunyai satu cita-cita besar bagaimana bangsa ini bisa merdeka
dari belenggu penindasan kolonial. Mereka tidak hanya mempunyai gagasan besar
tentang perubahan, tidak hanya berhenti pada satu forum diskusi, tetapi ada
satu tindakan riil bagaimana melakukan proses transformasi nilai terhadap massa
rakyat yang tertindas. Jalan itupun mereka dapatkan dengan cara
mengorganisasikan diri.
Tidak hanya itu, mereka
juga membuat terbitan-terbitan cetak dalam proses transformasi nilai kepada
massa rakyat. Perlawanan terhadap Belanda memasuki babak baru. Tak sekedar
dengan rencong dan keris, tetapi juga dengan pena dan kertas (baca: ilmu
pengetahuan). Itulah sebabnya Ben Anderson, lewat esai panjang Immagined
Communities, menulis: Selain runtuhnya kekuasaan universal (gereja
Katolik-Roma) dan kerajaan-kerajaan dinastik, berkembangnya penerbitan dan
percetakan yang memungkinkan tulisan para pemimpin pergerakan makin banyak
dibaca khalayak adalah elemen terpenting dari kelahiran nasionalisme.
Tugas kita saat ini
adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan
perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat
telah mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang
jasa-jasa mereka. Karena itulah hari Pahlawan harus kita peringati dan
refleksikan.
Namun, kepahlawanan tidak
hanya berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi
pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan
itu adalah pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah
perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, dan kerelaan berkorban?
Saat negara nasibnya
terseok seperti sekarang dimana rakyat hidupnya diperas, perubahan hanya jadi
menu diskusi, saat itulah maka gerakan progresif kaum intelektual terpelajar
menjadi satu kebutuhan mendesak. Seorang terpelajar bukan semata-mata sosok
yang mencintai pengetahuan, tapi bagaimana dapat dan mampu memberikan
gagasan-gagasan tentang perubahan. Karena itulah, solusi-solusi baru dan
tindakan konkrit untuk perubahan sosial mutlak dibutuhkan.
Saya masih ingat jelas
ungkapan satir yang pernah dituliskan Romo Mangunwijaya: Apa guna kita
memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat
dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat
dengan modal kepintaran mereka. Semoga ini bisa menjadi permenungan kita
bersama – sebagai ‘intelektual terpelajar’ – dalam merefleksikan peringatan
hari Pahlawan dan mengisi kemerdekaan ini dengan penuh makna.
MERDEKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar